PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam
konsepsi sejarah, berakhirnya perang dunia II seringkali dilihat sebagai
kemenangan panji demokrasi, dan keruntuhan bendera fasisme. Keruntuhan,
kekuatan demokrasi kembali menduduki posisi sentral dalam agenda persoalan
kenegaraan di dunia. Persoalannyasangat jelas, yakni menempatkan demokrasi dan
HAM sama dengan meletakkan kedaulatan rakyat di garis depan dari seluruh
pengelolaan sosial politik dan ekonomi.
1.2 Tujuan
Tujuan kami lebih untuk menyadarkan bahwa semangat
perjuangan bangsa yang merupakan kekuatan mental spiritual telah melahirkan
kekuatan yang luar biasa dalam masa perjuangan fisik, sedangkan dalam menghadapi globalisasi untuk mengisi
kemerdekaan , kita memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan profesi
masing-masing.
Perjuangan ini dilandasi oleh nilai-nilai perjuangan
bangsa sehingga kita tetap memiliki
wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan perilaku yang cinta tanah air dan
mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi
tetap utuh dan tegaknya NKRI.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PANCASILA
2.1.1 Pengertian Pancasila
Sejarah telah
mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang
memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam
mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan
sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran,
kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang
mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
2.1.2 Pancasila
sebagai Dasar Negara
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama
dari dasar negara kita, Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah
dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara
Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, dalam
buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa
Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima”
(Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1. Tidak
boleh melakukan kekerasan
2. Tidak
boleh mencuri
3. Tidak
boleh berjiwa dengki
4. Tidak
boleh berbohong
5. Tidak
boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. sebagai dasar negara maka nilai-nilai
kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada
Pancasila, namun berdasrkan kenyataan, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
tersebut telah dipraktikan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita teruskan
sampai sekarang.
Rumusan Pancasila yang dijadikan dasar negara
Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
2.2 Undang-Undang
Dasar (UUD)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
atau disingkat UUD 1945
atau UUD '45, adalah hukum
dasar tertulis (basic law), konstitusi
pemerintahan negara Republik Indonesia
saat ini.
UUD 1945
disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sejak tanggal 27 Desember 1949,
di Indonesia berlaku Konstitusi RIS,
dan sejak tanggal 17 Agustus 1950
di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden
5 Juli
1959
kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR
pada tanggal 22 Juli 1959.
Pada kurun
waktu tahun 1999-2002,
UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan
lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
2.2.1 Sejarah UUD
Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada
tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa
sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama
Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945,
38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk
merancang Piagam Jakarta
yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak
kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan
UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.
Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata
"Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di
Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli
1945.
Tanggal 18 Agustus 1945,
PPKI
mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
2.2.2 Naskah UUD
Sebelum
dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37
pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat
dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah
dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3
pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam
Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam
Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
2.2.3
Periode UUD 1945 Amandemen
Salah
satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada
masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di
tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang
terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta
kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum
cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu
adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat,
HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta
hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD
1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum
dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
2.3 Hak Asasi Manusia (HAM)
HAM / Hak Asasi
Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan
yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai
warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya.
Melanggar HAM
seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi
manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi
manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih
banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia
ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham
di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju
Belanda dari Indonesia.
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia (UU HAM) memuat prinsip bahwa hak asasi manusia harus dilihat secara
holistik bukan parsial sebab HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara
hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Oleh sebab itu perlindungan dan pemenuhan hak
asasi manusia di bidang sosial politik hanya dapat berjalan dengan baik apabila
hak yang lain di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta hak solidaritas juga
juga dilindungi dan dipenuhi, dan begitu pula sebaliknya. Dengan
diratifikasinya konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2005, kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan
jaminan-jaminan ekonomi, sosial dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan
hukum ataupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
2.3.1 Pembagian Bidang,
Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right :
- Hak kebebasan untuk bergerak,
bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau
menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di
organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan
agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2.
Hak asasi politik / Political Right :
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3.
Hak azasi hukum / Legal Equality Right :
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4.
Hak azasi Ekonomi / Property Rigths :
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5.
Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights :
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6.
Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right :
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
2.4 BELA NEGARA
2.4.1 Pengertian
Bela Negara
Bela negara adalah tekad, sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan uud 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. pembelaan negara bukan semata-mata tugas tni, tetapi segenap warga negara sesuai kemampuan dan profesinya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Era reformasi membawa banyak perubahan di hampir segala bidang di Republik Indonesia. Ada perubahan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat, tapi tampaknya ada juga yang negatif dan pada gilirannya akan merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan orde baru menyebabkan arus informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak terbendung. Berbagai ideologi, mulai dari ekstrim kiri sampai ke ekstrim kanan, menarik perhatian bangsa kita, khususnya generasi muda, untuk dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam upaya mencari jati diri bangsa setelah selama lebih dari 30 tahun merasa terbelenggu
oleh sistem pemerintahan yang otoriter.
Salah satu dampak buruk dari reformasi adalah memudarnya semangat nasionalisme dan kecintaan pada negara. Perbedaan pendapat antar golongan atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah suatu hal yang wajar dalam suatu sistem politik yang demokratis. namun berbagai tindakan anarkis, konflik sara dan separatisme yang sering terjadi dengan mengatas namakan demokrasi menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan utama. semangat untuk membela negara seolah telah memudar.
Bela negara biasanya selalu dikaitkan dengan militer atau militerisme, seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya terletak pada tentara nasional indonesia. padahal berdasarkan pasal 30 uud 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Republik Indonesia. bela negara adalah upaya setiap warga negara untuk mempertahankan republik indonesia terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri.
UU No 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara ri mengatur tata cara penyelenggaraan pertahanan negara yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun oleh seluruh komponen bangsa. Upaya melibatkan seluruh komponen bangsa dalam penyelenggaraan pertahanan negara itu antara lain dilakukan melalui pendidikan pendahuluan bela negara. di dalam masa transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi, tentu timbul pertanyaan apakah pendidikan pendahuluan bela negara masih relevan dan masih dibutuhkan. makalah ini akan mencoba membahas tentang relevansi pendidikan pendahuluan bela negara di era reformasi dan dalam rangka menghadapi era globalisasi abad ke 21.
Bela negara adalah tekad, sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan uud 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. pembelaan negara bukan semata-mata tugas tni, tetapi segenap warga negara sesuai kemampuan dan profesinya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Era reformasi membawa banyak perubahan di hampir segala bidang di Republik Indonesia. Ada perubahan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat, tapi tampaknya ada juga yang negatif dan pada gilirannya akan merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan orde baru menyebabkan arus informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak terbendung. Berbagai ideologi, mulai dari ekstrim kiri sampai ke ekstrim kanan, menarik perhatian bangsa kita, khususnya generasi muda, untuk dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam upaya mencari jati diri bangsa setelah selama lebih dari 30 tahun merasa terbelenggu
oleh sistem pemerintahan yang otoriter.
Salah satu dampak buruk dari reformasi adalah memudarnya semangat nasionalisme dan kecintaan pada negara. Perbedaan pendapat antar golongan atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah suatu hal yang wajar dalam suatu sistem politik yang demokratis. namun berbagai tindakan anarkis, konflik sara dan separatisme yang sering terjadi dengan mengatas namakan demokrasi menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan utama. semangat untuk membela negara seolah telah memudar.
Bela negara biasanya selalu dikaitkan dengan militer atau militerisme, seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya terletak pada tentara nasional indonesia. padahal berdasarkan pasal 30 uud 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Republik Indonesia. bela negara adalah upaya setiap warga negara untuk mempertahankan republik indonesia terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri.
UU No 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara ri mengatur tata cara penyelenggaraan pertahanan negara yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun oleh seluruh komponen bangsa. Upaya melibatkan seluruh komponen bangsa dalam penyelenggaraan pertahanan negara itu antara lain dilakukan melalui pendidikan pendahuluan bela negara. di dalam masa transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi, tentu timbul pertanyaan apakah pendidikan pendahuluan bela negara masih relevan dan masih dibutuhkan. makalah ini akan mencoba membahas tentang relevansi pendidikan pendahuluan bela negara di era reformasi dan dalam rangka menghadapi era globalisasi abad ke 21.
2.5 DEMOKRASI
2.5.1 Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah
suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal
dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Hal
ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan
rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan
pemerintahan. Melalui demokrasi,
keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk
menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum yang
ingin menyuarakan pendapat mereka.
Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak
melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahanotoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan
berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang
dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Di
Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan
pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme,
dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis.
Landasan
demokrasi adalah keadilan,
dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang
bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting,
dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya,
tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan
untuk mencapai hal tersebut.
Demokrasi selalu diidentikkan
dengan kebebasan (terkadang tanpa batasan) yang dilakukan oleh sekelompok
orang. Walaupun demokrasi itu sendiri selalu dieksploitasi dengan memobilisasi
banyak orang, tetapi suara terbanyak belum merupakan cerminan untuk kepentingan
masyarakat banyak. Demokrasi harus ditempatkan secara obyektif untuk mencapai
kebenaran substantif, dan demokrasi yang selama ini dilakukan hanya dilandaskan
pada semangat emosional, tanpa suatu pemahaman.
3.1 STUDY KASUS
3.1.1
Gereja dan Kejahatan Kemanusiaan di PAPUA Barat
Salah satu institusi yang secara tradisional memiliki kedekatan
emosional dengan rakyat Papua Barat adalah institusi gereja. Gereja di Papua
Barat, selain lembaga-lembaga swadaya masyarakat memiliki konsern terhadap
berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua Barat. Gereja bersama
rakyat Papua berjuang demi tegaknya hak asasi manusia di Papua Barat. Berikut
ini tulisan salah seorang rohaniawan Katolik tentang problematika terjadinya
pelanggaran HAM di Papua.
3.1.2
Titik Pandang Permasalahan
Saat ini, bila kita berkunjung ke pelosok-pelosok Papua, dengan gampang kita akan bertemu sejumlah masyarakat yang mengakui, bahwa di hutan ini, ayah, ibu beserta saudara-saudaranya dibantai oleh militer. Banyak yang diperkosa, disiksa, dihilangkan, ditangkap tanpa proses hukum, serta berbagai bentuk penyiksaan di luar batas kemanusiaan. Kuburan massal bertebaran di mana-mana. Semua dilakukan oleh militer Indonesia berdasarkan stigma OPM. Tetapi bagi rakyat Papua, OPM adalah ideologi perjuangan untuk memperoleh kebenaran.
Rakyat Papua sedang memperjuangkan
keadilan dan kebenaran baginya, namun pemerintah selalu mencurigai kegiatan itu
sebagai kegiatan subversif. Oleh sebab itu, pemerintah menggunakan pendekatan
militer. Gereja berada pada posisi serba salah. Hendak menghormati rakyatkah
atau pemerintah? Tulisan ini mengajak kita mendiskusikan sikap gereja-gereja di
Papua pada umumnya dalam dinamika sosial politik di Indonesia yang belum
stabil.
Mengapa rakyat Papua melawan pemerintah
Indonesia? Studi Lembaga Studi dan Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua Barat
menunjukkan, bahwa ada tiga permasalahan utama yang melatari perjuangan rakyat
Papua untuk menuntut hak-hak mereka.
3.1.3 PAPUA DI ERA REFORMASI:
Otonomi VS PAPUA Merdeka
Otonomi VS PAPUA Merdeka
Dinamika politik
Indonesia mulai membuka ruang yang memungkinkan penyampaian berbagai bentuk
aspirasi yang terpendam, selama bertahun-tahun di Papua Barat. Pada Mei 1998 di
Papua Barat berlangsung berbagai demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa
tertuju ke instansi tertentu, seperti militer dan DPRD, dengan tuntutan
tentang: (a) persoalan Hak Asasi Manusia; (b) hak berpartisipasi dalam jenjang
birokrasi pemerintahan (sering disebut Papuanisasi Birokrasi); (c) persoalan
transmigrasi; dan (d) persoalan hak ulayat tanah adat, dan sebagainya. Peran
ini kemudian beralih dari mahasiswa ke masyarakat. Pada tahun 1999, demonstrasi
berubah menjadi pemalangan sejumlah kantor instansi-instansi penting seperti
Kantor Kehutanan di Jayapura, serta kantor Dinas Pendapatan Daerah di Biak. Di
Sorong berlangsung pemalangan di hampir semua perusahaan, seperti
Perusahaan Pertamina,Usaha Mina(Perusahaan Pertambangan), maupun Perusahaan
Tambang. Namun pada tahun 2000, demonstrasi massa berali ke pemalangan
fasilitas publik, seperti pemalangan sumber air minum (di Waena, Port Numbay),
pemalangan Kantor Telkom, serta pemalangan Rumah Sakit Pembantu di Abepura, Jayapura.
3.1.4 GEREJA DAN SITUASI POLITIK YANG BERUBAH
Peran gereja mengalami
dinamika sesuai dengan perubahan sosial-politik di Papua. Baik pada masa Orde
Baru, awal reformas, tetapi juga di masa yang akan datang.
Ketika rezim Soeharto masih berjaya, dan
DOM begitu ketat diberlakukan di Irian Jaya, maka segala bentuk sikap kritis
terhadap masalah-masalah pembangunan di Papua, selalu dengan gampang diberi
stigma OPM. Suatu stigma yang nyaris sama seperti hukuman mati bagi setiap
orang yang dikenai stigma itu. Oleh sebab itu, baik masyarakat maupun gereja
mengalami kesulitan untuk memberitakan kebenaran, karena menghadapi ancaman
militer.
Gereja begitu kesulitan
untuk melakukan peran kenabian, dan hanya bisa melakukannya melalui
khotbah-khotbah di mimbar. Kecaman-kecaman terhadap kebijakan militer dan
pembangunan cenderung dilakukan secara tertutup, melalui komunikasi antar
pribadi ataupun melalui khotbah-khotbah.
Pada pertengahan
tahun 1995, gereja melakukan suatu gebrakan berani dengan tampilnya Uskup
Munninghoff, OFM melaporkan terjadinya pelanggaran HAM berkaitan dengan protes
masyarakat Amungme atas kehadiran dan perilaku menejemen PT Freeport. Laporan
yang menyentakkan dunia internasional itu, makin memberanikan para pimpinan
gereja Gereja Katolik, GKI di Irian Jaya, maupun GKII.untuk meningkatkan peran
dalam melaporkan berbagai bentuk ketidak-adilan, menyangkut kasus Mapnduma,
Bela, Jila dan Alama (1998). Juga kasus-kasus lain yang berlangsung berikutnya,
seperti kasus Biak Berdarah (1998), kasus Sorong, Merauke, Timika, Nabire dan
sebagainya.
Reformasi telah membuka
ruang politik di Indonesia, maupun di Papua. Masyarakat menggunakan kesempatan
tersebut untuk menyatakan aspirasi politik Papua Merdeka, sambil menolak tegas
opsi otonomi. Dalam ruang politik yang demikian, maka sebagai institusi, gereja
secara aktif berperan mengungkapkan kebenaran, tentang hak-hak orang Papua
secara damai. Inisiatif mendirikan lembaga FORERI merupakan keputusan strategis
untuk menyalurkan aspirasi merdeka masyarakat tanah Papua secara damai. FORERI
kemudian menjadi mediator aspirasi politik antara rakyat dan pemerintah, untuk
mengungkapkan aspirasi politik masyarakat.
Beberapa pimpinan umat,
baik Pastor, maupun Pendeta4 melibatkan diri bersama umat
dalam aktivitas bernuansa politik. Memang aktivitas demikian kemudian
menimbulkan dilema, karena berdasarkan anggapan umum bahwa gereja sebaiknya
tidak berpolitik praktis. Namun demikian, peran ini dijalani untuk menunjukkan,
bahwa keadilan dan kebenaran sedang mengalami ujian dalam kasus Papua. Terdapat
berbagai bentuk pelanggaran HAM sebagaimana sudah disebutkan di atas, yang
melatarbelakangi terjadinya protes dan penyampaian aspirasi politik merdeka.
Lebih dari itu, peran gembala terhadap umat menjadi penting untuk menjaga agar
perjuangan politik di Papua bisa berjalan damai tanpa pertumpahan darah.
3.2 PENYELESAIAN STUDY
KASUS
3.2.1 REKOMENDASI
Untuk melawan kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang mendorong lahirnya perjuangan politik di Papua Barat, maka kami merekomendasikan beberapa catatan berikut:
Untuk melawan kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang mendorong lahirnya perjuangan politik di Papua Barat, maka kami merekomendasikan beberapa catatan berikut:
Pertama, semua pihak sebaiknya mendorong pemerintah Indonesia untuk tetap
membuka peluang bagi kelanjutan dialog mengenai masalah Papua Barat. Terutama
agar pemerintah tidak menciptakan konflik horisontal (antara masayarakat dengan
masyarakat) atau konflik vertikal (antara masyarakat dengan pemerintah,
khususnya militer) baik secara langsung melalui kekerasan militer, maupu dengan
mengembangkan kekuatan-kekuatan baru seperti milisi Merah Putih di Fakfak.
Kedua, semua pihak sebaiknya mendorong terjadinya rekonstruksi sejarah
untuk melihat secara jernih akar permasalahan di Papua Barat secara benar, adil
dan damai. Sebuah upaya untuk membuktikan tuduhan rakyat Papua, bahwa telah
terjadi pengkhianatan Indonesia dan dunia internasional terhadap hak menentukan
nasib sendiri bangsa Papua pada saat PEPERA 1969, segala akibat yang
ditimbulkan oleh kebijakan DOM, kebijakan pembangunan nasional yang bertumpu
pada strategi pertumbuhan, krisis identitas yang dialami orang Papua, serta
berbagai bentuk proses genoside harus bisa diungkap secara objektif.
Ketiga, atas dasar rekonstruksi sejarah itu, maka diperlukan dukungan
selanjutnya dari semua pihak untuk melakukan proses menciptakan rasa adil bagi
masyarakat Papua. Proses menciptakan rasa adil ini hanya dapat dilakukan jika
terjadi proses hukum yang adil terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua,
serta ada rehabilitasi nama baik para korban dengan ganti rugi yang layak bagi
korban. Proses memberi rasa adil bagi rakyat diharapkan memberi kemungkinan
bagi rakyat Papua untuk membebaskan diri dari perasaan benci, amarah dan dendam
sebagai prasyarat untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Keempat, baru sesudah membebaskan rakyat dari ingatan penderitaan yang
dialaminya itu, maka rakyat dapat diajak untuk mendiskusikan secara rasional
kemungkinan rencana yang perlu dilakukan demi masa depan yang lebih baik.
4.1 Keterkaitan Study Kasus dengan Pokok Pembahasan
Keterkaiatan antara study kasus dengan pokok
pembahasan tentu bila kita lihat dari segi UUD 1945, ini tercatat dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan atau kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Dilihat dari segi demokrasi karena
pemerintah merupakan contoh utama dalam proses pendidikan demokrasi bagi
masyarakatnya. Tetapi untuk beberapa contoh kasus di daerah, dimana sesama
masyarakat sering terlibat dalam konflik horizontal, terutama dalam hal konflik
antar kepentingan. Seringkali konflik tersebut menyeret isu-isu SARA, dan pada
akhirnya mengorbankan sesama masyarakat itu sendiri. Perbedaan cara pandang dan
pemahaman antara prinsip kebebasan dengan demokrasi, sering mengakibatkan
misinterpretasi dalam pelaksanaannya.
Bila
secara pandangan Pancasila, tentu ke lima butir-butir Pancasila itu menjadi
keinginan setiap warga di Papua Barat yang sedang bergejolak. Mereka ingin
sepenuhnya merdeka dan tidak ingin lagi terjadi tindak kekerasan yang telah merugikan
warga Papua.
BAB III
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah
jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa
Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin
baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila
yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup
bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak
ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan
bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan
kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus
penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya
seperti HAM, Demokrasi oleh setiap warga negara Indonesia, dan penyelenggara
negara serta se lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat
maupun di daerah.
5.2 Saran
Harapan dari kami muda-mudi Indonesia
menginginkan pemerintah saat ini bisa lebih menghargai hak rakyat dengan cara
mendengarkan isi hati mereka atau pendapat secara demokrasi, yang tentunya
tanpa harus melanggar UUD 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
2.
Buku Merah Putih Kewarganegaraan
0 Response to " Pengertian Pancasila"
Post a Comment